Socrates, filsuf Yunani terkenal yang mengkritisi demokrasi yang lahir di tanah kelahirannya sendiri, Athena. Argumennya mengkritisi demokrasi didasarkan pada pandangannya bahwa jika sebagian besar masyarakat tidak memiliki pengetahuan yang memadai untuk membuat keputusan politik yang bijak. Ia berpendapat bahwa keputusan politik yang baik harus didasarkan pada kebijaksanaan dan pengetahuan, bukan sekadar mayoritas suara.
Menurut Socrates, mayoritas rakyat
tidak memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan yang cukup untuk memahami dan
memutuskan kebijakan politik yang kompleks. Mereka cenderung dipengaruhi oleh
penampilan dan janji-janji yang menyenangkan daripada argumen rasional dan
bukti yang kuat.
Socrates
berargumen bahwa memilih idealnya adalah berdasarkan keahlian atau ketrampilan
bukan bukan berdasarkan intuisi acak. Permisalannya orang-orang minoritas yang
memiliki keahlian mengkaji dan memahami program kerja setiap calon pemimpin
dapat kalah dengan mayoritas orang-orang yang tidak paham, karena suara setiap
orang terhitung satu.
Plato
sang murid Socrates mengisahkan sang guru melakukan percakapan dengan seorang
yang bernama Adeimantus. Socrates mengkritisi kekurangan demokrasi dan
membandingkan Negara dengan kapal.
Socrates: "Jika Anda melakukan perjalanan
melalui laut, siapa yang pantas
memutuskan siapa yang bertanggung jawab atas kapal? Semua orang atau Nahkoda
yang paham pelayaran?"
Adeimantus: “Tentu saja Nahkoda”
Socrates: “Kenapa? Perjalanan Kapal saja kita
harus memercayakan kepada yang ahli, apa lagi untuk sebuah Negara”
Socrates menggunakan analogi sederhana
untuk menggambarkan bahayanya fenomena demagog pada pemilihan umum. Dia
membandingkan pemilu dengan pemilihan antara seorang dokter dan seorang penjual
permen. Dalam contoh ini, penjual gula-gula dapat dengan mudah menyesatkan
masyarakat dengan janji-janji manis, sementara dokter yang menawarkan obat
pahit namun menyembuhkan mungkin tidak dipilih karena masyarakat lebih menyukai
sesuatu yang manis dan mudah diterima, meskipun berbahaya dalam jangka panjang.
Contoh ini mencerminkan kekhawatiran
Socrates bahwa dalam sistem demokrasi, pemimpin yang tidak kompeten namun
pandai berpidato dan menyenangkan massa bisa lebih mudah terpilih dibandingkan
pemimpin yang bijaksana namun kurang populer. Hal ini mengarah pada potensi
kepemimpinan yang tidak kompeten dan manipulatif, yang pada akhirnya merugikan
masyarakat.
Penentangan Socrates terhadap demokrasi
bukan bukan hanya pemikiran kosong semata dan terbukti dikemudian hari.
Contoh-contoh seperti Adolf Hitler dan Benito Mussolini, yang naik ke tampuk
kekuasaan melalui proses demokratis namun kemudian membawa bencana bagi negara
mereka Jerman dan Italia, hal ini cukup jelas untuk mengilustrasikan
kekhawatiran Socrates tentang bahaya demagogi pada demokrasi.
Pada akhirnya, penentangan Socrates
terhadap demokrasi dan kritiknya terhadap pemilu mengantarkannya ke pengadilan
di Athena. Dia dituduh menyesatkan pemuda dan tidak menghormati dewa-dewa kota.
Dewan juri yang terdiri dari 500 warga Athena memutuskan bahwa Socrates
bersalah dan dia dihukum mati dengan cara meminum racun hemlock pada tahun 399
SM, kabarnya si hasil perolehan suaranya hanya beda tipis.
Pandangan Socrates tetap relevan dalam
diskusi modern tentang demokrasi, kepemimpinan, dan pemilu. Kritiknya
mengingatkan kita untuk selalu waspada terhadap potensi manipulasi dalam proses
demokrasi dan pentingnya pendidikan politik yang baik bagi masyarakat. Agar
masyarakat dapat membedakan diantara calon pemimpin mana yang penjual permen
manis dan mana yang dokter yang mengobati dengan pil pahit.
Muhammad
Fajar Meisutomo
(Mahasiswa
Program S1 Universitas Mbojo Bima)