PKS Kota Bima

PKS Kota Bima
Menang Pemilu 2024

Minggu, 30 Juni 2024

Fenomena Demagog Pada Demokrasi Dalam Pemikiran Socrates

 

Socrates, filsuf  Yunani terkenal yang mengkritisi demokrasi yang lahir di tanah kelahirannya sendiri, Athena. Argumennya mengkritisi demokrasi didasarkan pada pandangannya bahwa jika sebagian besar masyarakat tidak memiliki pengetahuan yang memadai untuk membuat keputusan politik yang bijak. Ia berpendapat bahwa keputusan politik yang baik harus didasarkan pada kebijaksanaan dan pengetahuan, bukan sekadar mayoritas suara.

Menurut Socrates, mayoritas rakyat tidak memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan yang cukup untuk memahami dan memutuskan kebijakan politik yang kompleks. Mereka cenderung dipengaruhi oleh penampilan dan janji-janji yang menyenangkan daripada argumen rasional dan bukti yang kuat.

Socrates berargumen bahwa memilih idealnya adalah berdasarkan keahlian atau ketrampilan bukan bukan berdasarkan intuisi acak. Permisalannya orang-orang minoritas yang memiliki keahlian mengkaji dan memahami program kerja setiap calon pemimpin dapat kalah dengan mayoritas orang-orang yang tidak paham, karena suara setiap orang terhitung satu.

Plato sang murid Socrates mengisahkan sang guru melakukan percakapan dengan seorang yang bernama Adeimantus. Socrates mengkritisi kekurangan demokrasi dan membandingkan Negara dengan kapal.

Socrates: "Jika Anda melakukan perjalanan melalui laut,  siapa yang pantas memutuskan siapa yang bertanggung jawab atas kapal? Semua orang atau Nahkoda yang paham pelayaran?"

Adeimantus: “Tentu saja Nahkoda”

Socrates: “Kenapa? Perjalanan Kapal saja kita harus memercayakan kepada yang ahli, apa lagi untuk sebuah Negara”

Socrates menggunakan analogi sederhana untuk menggambarkan bahayanya fenomena demagog pada pemilihan umum. Dia membandingkan pemilu dengan pemilihan antara seorang dokter dan seorang penjual permen. Dalam contoh ini, penjual gula-gula dapat dengan mudah menyesatkan masyarakat dengan janji-janji manis, sementara dokter yang menawarkan obat pahit namun menyembuhkan mungkin tidak dipilih karena masyarakat lebih menyukai sesuatu yang manis dan mudah diterima, meskipun berbahaya dalam jangka panjang.

Contoh ini mencerminkan kekhawatiran Socrates bahwa dalam sistem demokrasi, pemimpin yang tidak kompeten namun pandai berpidato dan menyenangkan massa bisa lebih mudah terpilih dibandingkan pemimpin yang bijaksana namun kurang populer. Hal ini mengarah pada potensi kepemimpinan yang tidak kompeten dan manipulatif, yang pada akhirnya merugikan masyarakat.

Penentangan Socrates terhadap demokrasi bukan bukan hanya pemikiran kosong semata dan terbukti dikemudian hari. Contoh-contoh seperti Adolf Hitler dan Benito Mussolini, yang naik ke tampuk kekuasaan melalui proses demokratis namun kemudian membawa bencana bagi negara mereka Jerman dan Italia, hal ini cukup jelas untuk mengilustrasikan kekhawatiran Socrates tentang bahaya demagogi pada demokrasi.

          Pada akhirnya, penentangan Socrates terhadap demokrasi dan kritiknya terhadap pemilu mengantarkannya ke pengadilan di Athena. Dia dituduh menyesatkan pemuda dan tidak menghormati dewa-dewa kota. Dewan juri yang terdiri dari 500 warga Athena memutuskan bahwa Socrates bersalah dan dia dihukum mati dengan cara meminum racun hemlock pada tahun 399 SM, kabarnya si hasil perolehan suaranya hanya beda tipis.

Pandangan Socrates tetap relevan dalam diskusi modern tentang demokrasi, kepemimpinan, dan pemilu. Kritiknya mengingatkan kita untuk selalu waspada terhadap potensi manipulasi dalam proses demokrasi dan pentingnya pendidikan politik yang baik bagi masyarakat. Agar masyarakat dapat membedakan diantara calon pemimpin mana yang penjual permen manis dan mana yang dokter yang mengobati dengan pil pahit.

 

Muhammad Fajar Meisutomo

(Mahasiswa Program S1 Universitas Mbojo Bima)